MAU lihat wajah pendidikan kita? Lihat saja beberapa kasus penyelenggaraan UAN tingkat SMU yang baru selesai beberapa hari kemarin. Berbagai kasus terjadi, dan hampir selalu terulang setiap tahunnya. Kasus yang santer adalah kebocoran soal ujian juga adanya oknum guru dan pengawas yang jadi joker yang memperjual-belikan jawaban kepada murid.
Tentu kita prihatin! Pertama, karena guru adalah teladan bagi muridnya. Bagaimana bisa mewujudkan SDM yang berkualitas jika ternyata guru tidak bisa menjadi teladan yang baik. Jika guru sudah melakukan kecurangan hanya demi meraih “citra” sekolah yang baik, tentu ini tidak dibenarkan. Kedua, sistem pendidikan kita, termasuk sistem penyelenggaraan UAN tidak memberikan ruang dialog, sehingga target pencapaian mutu akan benar-benar sesuai harapan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Keprihatinan ketiga, kebijakan pemerintah atau stake holder terhadap pendidikan yang selama ini hanya saling menyalahan. Dan sasaran pertama yang bersalah adalah guru. Kalau mutu pendidikan rendah, dibilang gurunya yang bodoh. Pejabat tidak pernah intropeksi sehingga hanya bisa menyalahkan. Seperti kata Dr. Ishak Hasan, dosen FKIP Unsyiah (opini Serambi, 28/04/2009), pejabat teknis pendidikan hanya bisa “Peeh Canang” menyalahan bahwa rendahnya mutu pendidikan di Aceh karena buruknya kualitas gurunya.
Pernyataan itu lebih memprihatinkan lagi. Karena selaku penanggungjawab pendidikan semestinya harus malu sekaligus sadar bahwa penyumbang terbesar atas keterpurukan pendidikan ini karena kebijakan yang abai. Pendidikan yang “katanya” berfungsi untuk mencerdaskan anak bangsa selama ini justru dikotori dengan berbagai intrik dan kepentingan. Ini bagaikan kentut yang tak berbunyi dan tak berbentuk namun baunya menyengat kemana-mana. Topeng-topeng amat tebal dipakai oleh oknum pejabat baik di eksikutif maupun di gedung wakil rakyat.
Sebenarnya untuk menilai buruk atau baiknya sesuatu, termasuk sector pendidikan dapat menggunakan filosofis ikan. Apakah ikan itu buruk atau tidak, maka lihatlah bagian kepala (insang atau mata) ikan, jika kepala ikan itu busuk, maka busuklah yang bernama mahluk ikan. Dan banyak pasal atau faktor yang membuat sesuatu keadaan itu baik atau buruk. Jangan menggunakan hukum raja Timur Leng yang selalu ingin menang dari Nasruddin Hoja dalam cerita 1001 malam. Raja Leng hanya memakai dua pasal; pasal pertama, Raja tak pernah salah; pasal 2, jika Raja bersalah lihat pasal pertama. Inilah tabiat buruk pejabat negeri selama ini.
Menilai secara obyektif kelemahan pendidikan tentulah tidak serta merta terfokus pada guru semata, karena ia adalah sebuah mata rantai yang nyata-nyata tidak berdiri sendiri. Dari totalitas persepsi miris terhadap peran dan posisi guru jauh lebih baik dan bermakna bila dikaji secara jernih dan proporsional. Inilah yang belum dilakukan secara maksimal?
Kini, yang tersisa dari sisi lain akan profesi guru adalah kebahagian menjadi pendidik dan pengajar secara sungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Mengingat guru berada pada kelompok manusia pada akhirnya ternyata juga memiliki kepuasan, kebahagiaan bahkan kebanggaan tersendiri yang tidak dirasakan orang lain manakala mendengar murid-muridnya berhasil dan sukses ditengah-tengah masyarakat.
Selama ini kita hanya menuntut kualitas guru, namun melupkan bagaimana meningkatkan kualitas mutu hidup mereka. Bayangkan, guru mengawas Ebtanas hanya dibayar Rp 10.000 sampai Rp 20.000 perhari atau hanya Rp 140 ribu selama empat hari. Bayangkan dengan seorang pejabat yang sekali duduk di warung menghabiskan ratusan ribu. Belum lagi ada seorang guru yang harus mengajar untuk enam lokal pada satu sekolah dengan puluhan murid. Guru mengajar di luar sekolah karena bangunan fisiknya rusak. Inilah bagian ilustrasi fenomena profesi guru yang masih menyelimuti dunia pendidikan kita saat ini.
Problema lain, mau naik pangkat guru harus membayar sejumlah uang kepada oknum tertentu dengan berbagai dalih dan alasan, kadang bernada intimidasi dan sinis. Sementara jika ada kenaikan pangkat, gaji berkala, rapel gaji sekian bulan dipotong pula untuk keperluan yang tak jelas asal usul dari mana komandonya. Tapi ia tetap saja ada setiap saat. Di bagian lain, honorarium kelebihan jam mengajar yang menjadi hak guru diluar gaji sekali 6 bulan yang relatif kecil disunat pula. Kesejahteraan guru hanya ada dalam kampanye politik atau hanya pandai mencari kambing hitam.
Bagaimana mutu pendidikan bisa meningkat, kalau tunjangan prestasi kerja atau TPK guru yang sampai saat ini tidak pernah diperhatikan. Sebutlah untuk guru-guru di kota Banda Aceh, saat ini TPK guru hanya dibayar Rp 100.000 perbulan, itu pun sudah diprotes oleh anggota legislative. Coba bandingkan dengan TPK pegawai negeri yang golongan paling rendah Rp 1,5 juta perbulan. Ini belum masuk dana operasional pegawai, dan bandingkan pula dengan dana operasional di sekolah yang kabarnya harus dipotong dinas. Yang lebih memilukan lagi ada guru mengajar dengan perut kosong karena tak punya uang buat jajan, di kafetaria sekolah, gaji sebulan tak cukup memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anak di rumah.
Itulah seabrek masalah yang melingkari guru dan kehidupannya. Nasib “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ini sangat identik dengan bait-bait lagu Iwan Fals yang mengibaratkan nasib guru seperti tokoh Oemar Bakri yang pegawai negeri. Sejatinya inilah yang perlu direfleksi ulang dalam moment memperingati Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2009. Kisah-kisah seputar kecurangan terhadap pendidikan harus dikikis jika generasi bangsa ini mau baik ke depan ***
Tentu kita prihatin! Pertama, karena guru adalah teladan bagi muridnya. Bagaimana bisa mewujudkan SDM yang berkualitas jika ternyata guru tidak bisa menjadi teladan yang baik. Jika guru sudah melakukan kecurangan hanya demi meraih “citra” sekolah yang baik, tentu ini tidak dibenarkan. Kedua, sistem pendidikan kita, termasuk sistem penyelenggaraan UAN tidak memberikan ruang dialog, sehingga target pencapaian mutu akan benar-benar sesuai harapan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Keprihatinan ketiga, kebijakan pemerintah atau stake holder terhadap pendidikan yang selama ini hanya saling menyalahan. Dan sasaran pertama yang bersalah adalah guru. Kalau mutu pendidikan rendah, dibilang gurunya yang bodoh. Pejabat tidak pernah intropeksi sehingga hanya bisa menyalahkan. Seperti kata Dr. Ishak Hasan, dosen FKIP Unsyiah (opini Serambi, 28/04/2009), pejabat teknis pendidikan hanya bisa “Peeh Canang” menyalahan bahwa rendahnya mutu pendidikan di Aceh karena buruknya kualitas gurunya.
Pernyataan itu lebih memprihatinkan lagi. Karena selaku penanggungjawab pendidikan semestinya harus malu sekaligus sadar bahwa penyumbang terbesar atas keterpurukan pendidikan ini karena kebijakan yang abai. Pendidikan yang “katanya” berfungsi untuk mencerdaskan anak bangsa selama ini justru dikotori dengan berbagai intrik dan kepentingan. Ini bagaikan kentut yang tak berbunyi dan tak berbentuk namun baunya menyengat kemana-mana. Topeng-topeng amat tebal dipakai oleh oknum pejabat baik di eksikutif maupun di gedung wakil rakyat.
Sebenarnya untuk menilai buruk atau baiknya sesuatu, termasuk sector pendidikan dapat menggunakan filosofis ikan. Apakah ikan itu buruk atau tidak, maka lihatlah bagian kepala (insang atau mata) ikan, jika kepala ikan itu busuk, maka busuklah yang bernama mahluk ikan. Dan banyak pasal atau faktor yang membuat sesuatu keadaan itu baik atau buruk. Jangan menggunakan hukum raja Timur Leng yang selalu ingin menang dari Nasruddin Hoja dalam cerita 1001 malam. Raja Leng hanya memakai dua pasal; pasal pertama, Raja tak pernah salah; pasal 2, jika Raja bersalah lihat pasal pertama. Inilah tabiat buruk pejabat negeri selama ini.
Menilai secara obyektif kelemahan pendidikan tentulah tidak serta merta terfokus pada guru semata, karena ia adalah sebuah mata rantai yang nyata-nyata tidak berdiri sendiri. Dari totalitas persepsi miris terhadap peran dan posisi guru jauh lebih baik dan bermakna bila dikaji secara jernih dan proporsional. Inilah yang belum dilakukan secara maksimal?
Kini, yang tersisa dari sisi lain akan profesi guru adalah kebahagian menjadi pendidik dan pengajar secara sungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Mengingat guru berada pada kelompok manusia pada akhirnya ternyata juga memiliki kepuasan, kebahagiaan bahkan kebanggaan tersendiri yang tidak dirasakan orang lain manakala mendengar murid-muridnya berhasil dan sukses ditengah-tengah masyarakat.
Selama ini kita hanya menuntut kualitas guru, namun melupkan bagaimana meningkatkan kualitas mutu hidup mereka. Bayangkan, guru mengawas Ebtanas hanya dibayar Rp 10.000 sampai Rp 20.000 perhari atau hanya Rp 140 ribu selama empat hari. Bayangkan dengan seorang pejabat yang sekali duduk di warung menghabiskan ratusan ribu. Belum lagi ada seorang guru yang harus mengajar untuk enam lokal pada satu sekolah dengan puluhan murid. Guru mengajar di luar sekolah karena bangunan fisiknya rusak. Inilah bagian ilustrasi fenomena profesi guru yang masih menyelimuti dunia pendidikan kita saat ini.
Problema lain, mau naik pangkat guru harus membayar sejumlah uang kepada oknum tertentu dengan berbagai dalih dan alasan, kadang bernada intimidasi dan sinis. Sementara jika ada kenaikan pangkat, gaji berkala, rapel gaji sekian bulan dipotong pula untuk keperluan yang tak jelas asal usul dari mana komandonya. Tapi ia tetap saja ada setiap saat. Di bagian lain, honorarium kelebihan jam mengajar yang menjadi hak guru diluar gaji sekali 6 bulan yang relatif kecil disunat pula. Kesejahteraan guru hanya ada dalam kampanye politik atau hanya pandai mencari kambing hitam.
Bagaimana mutu pendidikan bisa meningkat, kalau tunjangan prestasi kerja atau TPK guru yang sampai saat ini tidak pernah diperhatikan. Sebutlah untuk guru-guru di kota Banda Aceh, saat ini TPK guru hanya dibayar Rp 100.000 perbulan, itu pun sudah diprotes oleh anggota legislative. Coba bandingkan dengan TPK pegawai negeri yang golongan paling rendah Rp 1,5 juta perbulan. Ini belum masuk dana operasional pegawai, dan bandingkan pula dengan dana operasional di sekolah yang kabarnya harus dipotong dinas. Yang lebih memilukan lagi ada guru mengajar dengan perut kosong karena tak punya uang buat jajan, di kafetaria sekolah, gaji sebulan tak cukup memenuhi kebutuhan keluarga dan anak-anak di rumah.
Itulah seabrek masalah yang melingkari guru dan kehidupannya. Nasib “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” ini sangat identik dengan bait-bait lagu Iwan Fals yang mengibaratkan nasib guru seperti tokoh Oemar Bakri yang pegawai negeri. Sejatinya inilah yang perlu direfleksi ulang dalam moment memperingati Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2009. Kisah-kisah seputar kecurangan terhadap pendidikan harus dikikis jika generasi bangsa ini mau baik ke depan ***