www.pidiejaya.co.nr

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
www.pidiejaya.co.nr

WEBSITE MASYARAKAT PIDIE JAYA SE JABODETABEK DAN SEKITARNYA

Masyarakat Pidie Jaya di Jakarta Jl. Raya Lenteng Agung no.18,Lenteng Agung,Jagakarsa,Jakarta Selatan  Telp. 78845567, Hp. 0811 905683 (Alauddinsyah), 08161908281 (M. Natsir) URL: http://www.pidiejaya.co.nr/ Email:bamuspidiejaya@gmail.com;pidiejaya.jkt@gmail.com

    Jak saweue Cuco u Midan

    Alauddinsyah
    Alauddinsyah
    Admin Utama
    Admin Utama


    Jumlah posting : 17
    Join date : 15.04.09
    Age : 53
    Lokasi : Jakarta

    Jak saweue Cuco u Midan Empty Jak saweue Cuco u Midan

    Post by Alauddinsyah Mon 12 Jul 2010 - 15:14

    PERNAH dengar kalimat bernada mengejek: jalan kontak-kontak? Pameo ini berkembang di tahun enam puluhan dan tujuh puluhan. Konon, ada orang Aceh yang ingin naik beca lalu menanyakan tukang beca: “Ke jalan kontak-kontak berapa ongkosnya?” Tukang beca bingung karena tak pernah mendengar yang namanya jalan kontak-kontak. Rupanya yang dimaksudkan lelaki Aceh ini adalah Jalan Listrik, yang tak jauh dari Jalan Palang Merah. Dia lupa kata listrik. Yang dia ingat bila terkena benda tersebut, kita akan tersengat arusnya alias kontak —dalam
    istilah Aceh.

    Cerita lucu dan ironis itu awalnya dirangkai dalam serial tulisan sebuah koran mingguan Aceh pada akhir dekade enam puluhan dan awal tujuh puluhan. Serial bersambung itu diberi nama “Jak Saweue Cuco u Midan” atau menjenguk cucu ke Medan. (orang tua-tua melafal Medan dengan Midan). Sang tokoh kakek dan nenek dari Aceh pergi menjenguk cucunya di Medan bertemu dengan berbagai situasi baru yang serba urbanistik. Banyak tingkah polah dan keganjilan prilaku manusia, baik prilaku masyarakat Medan, maupun prilaku orang Aceh yang diwakili sang kakek-nenek tadi ketika tiba di Medan yang ditulis almarhum Zakaria M Passe tersebut.

    Adanya kakek-nenek yang jak saweue cuco u Midan menggambarkan adanya keluarga muda Aceh hijrah ke Medan pada saat itu. Mereka hidup di kota besar bersama keluarga, sedang orangtua mereka tinggal di Aceh. Untuk menebus rindu sang kakek atau neneklah yang ke Medan, bukan sebaliknya sang anak dan cucu pulang ke kampung. Mereka lebih senang dikunjungi bukan mengunjungi. Ini adalah awal dari babak baru gaya urban di masyarakat kita yang sebelumnya kaum agraris.

    Setting waktu enam puluhan dan tjuh puluhan adalah selang pendek masa setelah eksodus beramai-ramai orang Aceh akibat konflik DI/TII (1953 -1962). Jalan Gajah Mada dan kawasan Medan Baru menjadi tempat tinggal orang Aceh pada waktu itu yang jejaknya bisa disaksikan sampai sekarang ini. Hal serupa berulang ketika konflik Aceh di akhir 1990-an dan awal 2000-an yang membuat komplek perumahan elit seperti Taman Setia Budi Indah (Tasbi) dipenuhi orang asal Aceh. Terakhir komplek elit baru di sisi Tasbi juga diborong orang Aceh. Setiap terjadi “masalah internal” di Aceh semakin mempergemuk jumlah komunitas Aceh di kota Medan.

    Tanpa itu juga sebetulnya Medan memang menjadi magnit bagi semua orang, lebih-lebih orang Aceh. Maka seperti ditulis Mukhtaruddin Yakob dalam “Serba - Medan” (Serambi 22/02) ada iklan hiburan di Medan yang dimuat di koran Aceh, adalah sesuatu yang patut jadi renungan. Banyak iklan yang ditujukan kepada konsumen Aceh adalah strategi pemasaran, karena sebagian besar orang berduit Aceh sejak dulu dengan senang hati menghabiskan uangnya di Medan.

    Maka kalau kehadiran artis sensual Sarah Azhari di Medan diiklankan di koran Aceh adalah sesuatu yang sangat tepat. Iklan sebuah hotel di Medan juga menawarkan tarif khusus bagi pemegang KTP Aceh. Itu hanya trik karena iklan serupa juga dimuat dalam koran di provinsi lain di Sumatra. Ini bisnis Bung! (Meminjam slogan Ini Medan Bung!) Ketika masa konflik dulu banyak instansi termasuk legislatifmengadakan rapat di hotel-hotel di Medan.

    Kabarnya, membahas nasib rakyat Aceh lebih nyaman dan aman di Medan karena Aceh sedang rawan. Tapi setelah Aceh aman pergi berlibur atau melepas lelah ke Medan malah lebih marak lagi. Maka dengan sedikit bercanda Mukhtaruddin memberi ilustrasi dengan pameo ada telur Medan masuk Aceh dan telur Aceh masuk Medan. Masyarakat Aceh memang masyarakat yang agak konsumtif. Kalangan penyedia jasa di Medan memberi gelar orang Aceh sebagai pemurah dan dermawan, karena uang tip yang mereka peroleh dari orang Aceh jauh lebih banyak dibandingkan dari tamu non-Aceh. (Maksudnya tip yang diberikan kepada roomboy, lho).

    Rabu (24/0) surat kabar ini juga membuat iklan penuh warna di halaman depan. Isinya menawarkan sebuah apartemen di Jakarta Selatan. Dalam iklan separuh halaman di halaman muka (jarang-jarang ada) meski barangnya di Jakarta tetapi pamerannya diadakan di Cambrige City Square Medan —sebuah fasilitas modern terpadu yang menjadi tempat tongkrongan nyaman kaum elita kota termasuk kaum borjuis dari Aceh. Tempat ini sangat nyaman karena ada tongkrongan, ada makanan, ada hiburan, dan ada hotel dalam satu atap. Aman dan mantap bagi yang masih berlindung di bawah bendera sinobis bermental hipokritsi.

    Pokoknya cerita duit Aceh —termasuk APBA 2010 yang sedang dibahas di DPRA— sebagian besar akan mengalir ke Medan, bukanlah kisah baru. Sebab, dalam hitungan kasar setiap hari orang Aceh yang pergi ke Medan mulai dari Banda Aceh sampai Kuala Simpang jumlahnya sangat signifikan. Paling tidak setiap hari 100 bus berbadan lebar dan 40 angkutan jenis L 300 berangkat ke arah timur. Kalau setengah saja penumpangnya tujuan Medan, jumlahnya 2. 600 orang. Ini ditambah lagi dengan yang menggunakan pesawat udara sekitar 500 orang, dan kendaraan pribadi 500 orang, sehingga jumlahnya menjadi 3.600 orang.

    Rata-rata setiap orang mengeluarkan uang untuk akomodasi, konsumsi, belanja dan hiburan, Rp 1 juta perhari maka uang orang Aceh mengalir ke Medan Rp 3,6 milyar perhari. Ini belum terhitung pengeluaran dalam bentuk tip dan jasa “lain-lain” yang sifatnya agak privatif. Kalau itu angka untuk sehari, berapa uang Aceh mengalir ke Medan setiap bulan?

    Maka seorang pengusaha alat bangunan di Medan tak berniat membuka cabang di Aceh meski sebagian besar barang-barang dagangannya dipasok ke Aceh. Dia berpendapat, bagaimanapun orang Aceh pasti memilih pergi ke Medan. Secara bisik-bisik dia mengatakan, membeli besi atau barang lain hanya alasan belaka! Ada magnit lain yang menarik puluhan ribu orang Aceh memilih Medan —kota yang “tak berqanun” itu.

    Kalau kita mau menguraikan lagi, apakah itu saja uang Aceh disedot oleh Medan? Bukan! Hampir semua kendaraan kredit baik baru maupun bekas adanya di Medan. Karena membeli mobil bekas dengan plat BK, maka pajak-pajaknya juga dibayar ke Samsat Medan. Jumlahnya bisa milyaran rupiah setiap tahun. Bahkan sebagian besar pembeli mobil terutama mobil bermerek dari baru memasang platBK agar kelak lebih mudah bila ingin menjual kembali. Cobalah mencari mobil di dealer Medan, pasti kita ditawarkan menggunakan plat BK atas nama sendiri karena mereka juga bersedia mengurus KTP Medan. Kalau pakai BL harganya bertambah antara Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta bermobil.
    Apakah itulah politik Medan agar Medan bisa “udep ateueh rueng ureung Aceh?” Ini tidak jelas. Karena sebagian orang Aceh tidak hanya punya KTP Medan, tetapi juga punya “rumah ke dua” di Medan. Sekali-sekali coba jalan-jalan ke komplek perumahan agak ke pinggiran Medan. Coba telisik siapa pemiliknya, baik pemilik rumah maupun pemilik “orang rumah”. Di kalangan tertentu gejala ini poluler dengan istilah “kodam dua”.

    Maka iklan Sarah Azhari di koran Aceh adalah pantulan dari gaya hidup dan orientasi kekinian orang Aceh. Ini realitas yang tak perlu ditutup-tutupi dengan mantel kemunafikan. Kalau di tahun enam puluhan dan tujuh puluhan ada istilah “ jak saweue cuco u Midan”, ke depan mungkin lebih tepat kalau dikatakan “jak saweue aneuk u Midan” . Atau Aceh perlu buat qanun untuk menghambatnya?