www.pidiejaya.co.nr

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
www.pidiejaya.co.nr

WEBSITE MASYARAKAT PIDIE JAYA SE JABODETABEK DAN SEKITARNYA

Masyarakat Pidie Jaya di Jakarta Jl. Raya Lenteng Agung no.18,Lenteng Agung,Jagakarsa,Jakarta Selatan  Telp. 78845567, Hp. 0811 905683 (Alauddinsyah), 08161908281 (M. Natsir) URL: http://www.pidiejaya.co.nr/ Email:bamuspidiejaya@gmail.com;pidiejaya.jkt@gmail.com

    Adat dan Hukum di Aceh

    Hidayatullah
    Hidayatullah
    Admin Utama
    Admin Utama


    Jumlah posting : 48
    Join date : 14.04.09
    Age : 53
    Lokasi : Ulee Gle-Pidie Jaya

    Adat dan Hukum di Aceh Empty Adat dan Hukum di Aceh

    Post by Hidayatullah Fri 17 Apr 2009 - 18:32

    Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampông atau mukim. MeskipunUndang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat.

    Dalam masyarakat Aceh yang sangat senang menyebut dirinya dengan Ureueng Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampông dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiapkejadian dalam kehidupan bermasyarakat,
    Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah terbentuk.Lembaga-lembaga adat dimaksud seperti Panglima Uteun, Panglima Laot, Keujruen Blang, Haria Pekan, Petua Sineubok. Semua lembaga ini berperan di posnya masing-masing sehingga pengelolaan sumberdaya alam di gampông trepelihara.
    Misalnya, Panglima Laot yang bertugas mengelola segala hal berkaitan dengan laut dan hasilnya. Tentunya semua hal berkaitan dengan laut diatur oleh lembaga tersebut. Begitu pun dengan lembaga lainnya.

    Lembaga-lembaga adat itu sekarang terkesan hilang dalam masyarakat Aceh, karena
    derasnya arus globalisasi dan westernisasi yang mencoba merobah peradaban masyarakat Aceh. Padahal, jika lembaga-lembaga adat tersebut dihidupkan pada suatu gampông, kampung tersebut akan tetap kokoh seperti jayanya masa-masa kesultanan Aceh.

    Salah satu contoh kokohnya masyarakat dengan peranan lembaga adat seperti
    terlihat di Gampông Barô. Kampung yang dulunya berada di pinggir pantai, namun tsunami menelan kampung mereka. Berkat kepercayaan masyarakat kepada pemangku-pemangku adat di kampungnya, masyarakat Gampông Barô sekarang sudah memiliki perkampungan yang baru, yaitu di kaki bukit desa Durung, Aceh Besar.

    Tak pernah terjadi kericuhan dalam masyarakatnya, sebab segala macam
    kejadian, sampai pada pembagian bantuan pun masyarakat percaya penuh kepada lembaga adat yang sudah terbentuk. Nilai musyawarah dalam masyarakat adat memegang peranan tertinggi dalam pengambilan keputusan.

    Kasus lain pernah terjadi di tahun 1979. Ketika itu desa Lam Pu’uk selisih
    paham dengan desa Lam Lhom. Kasus itu terhitung rumit karena membawa nama desa, namun masalah dapat diselesaikan secara adat oleh Imum Mukim. Ini merupakan bukti kokohnya masyarakat yang menjunjung tinggi adat istiadat yang berlaku. Mereka tidak memerlukan polisi dalam menyelesaikan masalah sehingga segala macam bentuk masalah dapat diselesaikan dengan damai tanpa dibesar-besarkan oleh pihak luar.

    Jika kita lihat hukum yang dipakai oleh aparatur negara (polisi), selalu
    berujung pada penjara dan denda. Penyalahgunaan hukum oleh aparatur
    penegak hukum itu pun sering kita dengar. Misalkan saja ketika seseorang silap tak memakai helm di jalan raya. Orang itu langsung dijatuhi denda sampai Rp 50 ribu. Hal ini pernah menimpa beberapa pengendara sepeda motor yang melintas di jalan depan Perpustakaan Daerah NAD. Ketika yang melakukan kesalahan adalah penegak hukum atau kerabatnya, orang tersebut bisa bebas begitu saja. Artinya hukum yang dipakai tidak berlaku pada penegak hukum.

    Dalam hukum adat semua jenis pelanggaran memiliki jenjang penyelesaian yang
    selalu dipakai dan ditaati masyarakat. Hukum dalam adat Aceh tidak langsung diberikan begitu saja meskipun dalam hukum adat juga mengenal istilah denda. Dalam hukum adat jenis penyelesaian masalah dan sanksi dapat dilakukan terlebih dahulu dengan menasihati. Tahap kedua teguran, lalu pernyataan maaf oleh yang bersalah di hadapan
    orang banyak (biasanya di meunasah/ mesjid), kemudian baru dijatuhkan denda. Artinya, tidak langsung pada denda sekian rupiah. Jenjang penyelesaian ini berlaku pada siapa pun, juga perangkat adat sekalipun.

    Menilik hukum yang diselenggarkan oleh aparatur hukum negara ini, apakah sudah
    sesuai dengan syariat Islam jika dengan segampangnya meminta uang denda
    kepada orang yang silap tidak mengenakan helm tanpa menasihati dan
    memperingati terlebih dahulu? Oleh karena Aceh ini sudah diterapkan syariat Islam, hukum di Aceh hendaknya jangan bertentangan dengan hukum Islam. Islam tidak pernah memberatkan atau mempersulit penganutnya. Hukum adat di Aceh selalu berpedoman kepada alquran dan assunnah. Hal ini juga sesuai dengan qanun NAD nomor 7 tahun 2000 bab II pasal 2.

    Lahirnya UU no.11 tahun 2006 memperlihatkan pemerintah Indonesia telah mulai berpihak kepada rakyat Aceh. Di sana mulai diakui keberadaan mukim dan gampông serta lembaga adat lainnya.

    Dijelaskan dalam bab XIII pasal 98, bahwa lembaga adat berfungsi dan berperan
    sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.

    Lembaga-lembaga adat dimaksud ada yang di tingkat gampông dan ada yang di tingkat
    mukim. Jika lembaga adat ini diberikan wewenang sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku dalam masyarakat,
    niscaya sumber daya alam di gampông tersebut lestari dan terjaga. Maka masyarakat Aceh akan kembali jaya seperti zaman kesultanan dahulu, karena hukum adat selalu pro rakyat. Semoga!

    Penulis, mahasiswa FKIP PBSID
    Unsyiah, pegiat kebudayaan dan aktivis Jaringan Komunitas Masyarakat
    Adat (JKMA) Aceh
    .