www.pidiejaya.co.nr

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.
www.pidiejaya.co.nr

WEBSITE MASYARAKAT PIDIE JAYA SE JABODETABEK DAN SEKITARNYA

Masyarakat Pidie Jaya di Jakarta Jl. Raya Lenteng Agung no.18,Lenteng Agung,Jagakarsa,Jakarta Selatan  Telp. 78845567, Hp. 0811 905683 (Alauddinsyah), 08161908281 (M. Natsir) URL: http://www.pidiejaya.co.nr/ Email:bamuspidiejaya@gmail.com;pidiejaya.jkt@gmail.com

    UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH

    Hidayatullah
    Hidayatullah
    Admin Utama
    Admin Utama


    Jumlah posting : 48
    Join date : 14.04.09
    Age : 53
    Lokasi : Ulee Gle-Pidie Jaya

    UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH Empty UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH

    Post by Hidayatullah Thu 16 Apr 2009 - 17:55

    UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH



    Oleh: Agus Budi Wibowo

    Pendahuluan
    Pada beberapa tahun terakhir, bangsa Indonesia dirundung oleh berbagai bencana. Bencana ini tidak hanya mengakibatkan hilangnya harta benda, tetapi juga menimbulkan jatuhnya korban jiwa manusia. Tidak terbilang nilai nominal akibat dari bencana yang terjadi. Bencana tersebut dapat disebutkan beberapa di antaranya berupa tanah longsor dan banjir.Terkait dengan dua contoh bencana di atas, banyak faktor yang dapat
    dituduh sebagai penyebabnya. Selain karena faktor alam, tanah longsong dan banjir dapat disebabkan karena ulah manusia yang tidak dapat mengelola sumberdaya alam dengan baik. Alam dikelola dengan konsepserampangan dan tidak memperhatikan keseimbangan alam. Antara dayadukung alam dengan kebutuhan tidak perhatikan sehingga mengakibatkan alam mengalami degradasi dan kehancuran yang cukup parah. Setiap komunitas masyarakat di dunia biasanya mempunyai tata aturan di dalam kehidupannya. Tata aturan ini mengatur kehidupan manusia dalam kaitan dengan antar manusia, alam, dan Tuhan Yang Maha Esa. Tata aturan ini seringkali -disebut adat-istiadat Terkait dengan konteks tulisanini banyak studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat adatdi Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas behwa sebagian besar masyarakat adat ada yang masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumber daya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumber daya lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan terus-menerus secara turun temurun.1 Salah satu masyarakat adat di Nusantara yang mempunyaikearifan lokal adat adalah masyarakat Aceh. Banyak hal yang dapat diangkat terkait dengan masalah tersebut, tetapi kali ini penulis hanya memfokukan pada upacara adat dalam membangun rumah.

    Upacara Adat Membangun Rumah
    Upacara adat adalah sejenis kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun yang telah menjadi kebiasaan mereka. Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu dan Islam. Sebab di samping diadakannya do’a-do’a sesuai menurut ajaran Islam, dalam upacara tersebut juga terlihat adanya unsur-unsur kepercayaan terhadap roh-roh gaib dan benda-benda yang dianggap
    keramat .
    2 Upacara adat dalam mendirikan rumoh Aceh dilaksanakan secara tiga tahap. Pertama dilaksanakan pada saat pengambilan bahan-bahan rumah dari hutan. Tahap kedua ketika hendak mendirikan rumah dan tahap yang ketiga dilaksanakan upacara adat ketika rumah adat telah siap untuk dihuni/ditempati.

    1. Upacara Pengambilan Bahan dari Hutan
    Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa sebagian besar bahan-bahan rumoh Aceh seperti tiang dan papan dibuat di dalam hutan di mana bahan-bahan tersebut diambil, tujuannya tidak lain adalah untuk mempermudah pengangkutan bahan-bahan tersebut.
    Dalam rangka pengangkutan kayu-kayu itu dari hutan biasanya disertai dengan melaksanakan upacara adat. Pengangkutan dilaksanakan secara bergotong-royong dengan mengundang sanak famili beserta masyarakat.
    Bahkan dalam upacara tersebut selalu disertai dengan pemotongan korban seperti sapi, kerbau, kambing dan sekurqang-kurangnya pemotongan ayam atau itik. Tujuan dari pada pemotongan hewan korban tersebut adalah untuk menghindari terjadinya berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi atau mempersulit pengambilan semua bahan perumahan tersebut.3 Di samping itu, tujuan pemotongan hewan korban itu tidak
    lain adalah untuk lebih semaraknya acara jamuan makan bagi semua yang ikut dalam bergotong-royong itu.
    Menurut kepercayaan orang Aceh,bahwa setiap tempat dipermukaan bumi ini, baik yang berada di daratmaupun yang berada di laut terdapat semacam makhluk halus (roh-roh)
    yang menjaga atau menguasainya. Lebih-lebih wilayah yang berada dihutan. Untuk memasuki hutan dan mengambil isinya harus dipatuhi ketentuan-ketentuan adat yang berlaku, agar makhluk halus yang menguasai hutan itu bersedia memberikan keizinannya. Salah satu cara untuk memperoleh keizinan penguasa hutan tersebut adalah dengan cara
    menyembelih hewan korban.Pertama kali kayu yang akan diangkut disatukan terlebih dulu kemudian diikat dengan rotan guna ditarik beramai-ramai. Untuk mempermudah penarikannya diberi landasan berupa kayu bulat sebanyak 2, 3 atau lebih. Setiap kayu landasan dipegang oleh seorang, apabila kayu yang pertama telah lewat ditarik, maka kayu yang tertinggal tadi diambil dan diletakkan kembali di depan kayu yang sedang ditarik itu. Apabila salah satu kayu landasan itu sangkut, maka pemukulan canang yang dilakukan oleh wanita-wanita tadi harus diperkuat dan dipercepat serta sorakan anak-anak menjadi lebih bergemuruh. Tujuan pemukulan canang dan sorakan ini agar makhluk halus yang mungkin telah mencoba menghalangi pengangkutan kayu itu menjadi takut dan lari. Selain itu, pemukulan canang dan sorakan itu juga bertujuan untuk memberikan semangat kepada para penarik, dan juga agar mereka merasamalu jika bagian landasan yang dipegangnya sering tersangkut.
    Jumlah rotan (tali pengikat) biasanya bersesuaian dengan jumlah belah 4 (kampung) yang hadir, sebab setiap belah memegang sebuah rotan pengikat. Jika jumlah belah yang hadir lebih banyak, maka kayu-kayu tersebut dapat ditarik sampai dua atau tiga kayu sekaligus. Dalam hal ini tidak dibenarkan menempati tali rotan yang telah dipegang oleh orang lain, karena hal tersebut bisa menimbulkan bentrokan antar belah (kampung). Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang raja (reje) yang
    mengepalai belah secara keseluruhan.Untuk daerah Aceh bagian pesisir, seperti Aceh Besar, Aceh Utara, Aceh Barat dan Pidie, penebangan dan penarikan kayu harus ditentukan waktunya, tidak boleh pada waktu air sedang pasang, sebab apabila ditebang pada waktu air sedang pasang dapat menyebabkan kayu-kayu tersebut mudah dimakan rayap atau “bubuk”. Karenanya di daerah pesisisr setiap penebangan kayu untuk
    bahan perumahan terlebih dahulu harus membaca dan mengetahui dengan jelas perjalanan dan pergantian bulan, sehingga mudah mengetahui kapan air pasang dan kapan pula surutnya.5

    2. Upacara pada Saat Mendirikan Rumah Sebagaimana pada upacara pengambilan bahan dari hutan, maka pada upacara pendirian rumoh Aceh, juga diadakan penyembelihan hewan korban, disertai dengan acara makan bersama dengan mengundang para ahli famili
    terdekat, karib kerabat beserta masyarakat sekitarnya. Dalam acara tersebut diadakan pula pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Tgk.Imam Meunasah atau Tgk. Imam Mesjid. Do’a ini merupakan sikap penyerahan diri (tawakal) kepada Allah SWT, serta memohon agar pembangunan rumah itu dapat berjalan dengan baikdan diharapkan dapat
    membawa berkah, ketenangan serta ketentraman bagi para penghuninya.6
    Setelah selesai acara makan bersama dan pembacaan do’a, barulah orang yang hendak mendirikan rumah tersdebut menyampaikan maksud dan tujuannya kepada para undangan yang hadir. Kemudian segala persoalan selanjutnya yang menyangkut tentang hari pelaksanaan mendirikan rumah itu diserhkan kepada Kepala Desa atau “Keuchik” untuk menentukannya.
    Dalam upacara mendirikan rumoh Aceh ada dua kegiatan penting yang harus dilakukan. Pertama upacara “Tanom Kurah” dan yang kedua upacara“Peusijuk”.
    Upacara “Tanom Kurah” adalah sejenis upacara yang kalau sekarang disebut upacara “peletakan batu pertama”. Disebut upacara“Tanom Kurah”, karena dalam upacara ini dilakukan penanaman kurah persis di tengah-tengah tempat di mana rumah akan dibangun. Penanaman kurah dilakukan pada malam hari, tepat pada pukul 24.00 WIB. Hal ini
    menurut kepercayaan orang Aceh dapat membawa ketentraman dan kebahagiaan bagi penghuni rumah itu, terutama sekali menyangkut tentang kenyamanan tidur pada malam hari.Sedangkan upacara “Peusijuk”dilaksanakan pada pagi harinya oleh si pemilik rumah sendiri atau bisa juga diwakili oleh Tgk. Imam Meunasah. Kegiatan pokok dalam upacara ini adalah penepung tawaran seluruh lokasi tempat di mana rumah itu akan dibangun, sekaligus juga dilaksanakan penepung tawaran terhadap bahan-bahan perlengkapan rumah yang telah dipersiapkan sebelumnya ditempat itu.
    Alat-alat yang dipergunakan dalam penepung tawaran terdiri dari “On sisejuk” atau (sineujuk) disebut juga “Daun Sidingin”,yaitu sejenis rumput yang daunnya agak lebar dan dingin, anak pohon pisang dicampur dengan bunga, ditambah dengan rumput atau “Naleung”yang dinamakan “Sambo”, yaitu sejenis rumput yang biasanya tumbuh dengan akar serabut yang sangat kuat dan sukar dicabut. Rumput ini dipergunakan langsung dengan akar-akarnya. Semua alat-alat tersebut diikat menjadi satu kemudian dimasukkan ke dalam sebuah ayan kecil yang diisi air secukupnya. Pada tempat yang terpisah disediakan juga padi dan beras secukupnya.
    Penepung tawaran dilakukan dengan cara mencelupkan bagian akar dari alat-alat yang telah diikat menjadi satu tadi ke dalam air itu, kemudian memercikkannya ke sekeliling tempat lokasi di mana rumah itu akan dibangun.Penyiraman dilakukan mulai dari
    “Pancang Kurah” tadi terus berputar ke kanan sampai seluruh lokasi itu terkena siraman (percikan) air.Setelah selesai penepung tawaran,
    maka “On Sineujuk” (daun sidingin), “Naleung Sambo” beserta anak pohon pisang tadi ditanam sekalian di bagian paling pinggir sebelah utaradari rumah itu.
    Tujuan upacara “Peusijuk” ini adalah agar suasana rumah itu selalu sejuk dan nyaman. Upacara ini biasanya dilaksankan pada pagi hari, yaitu sebelum matahari tinggi. Ini melambangkan suatu kepercayaan bahwa waktu pagi itu sangat baik untuk mendatangkan rezekibagi penghuni rumah tersebut.7 Selanjutnya, pada tiang Putri atau “Tameh Putro” ditanam sebuah periuk tanah (Kanot Tanoh). Periuk tanahini di beberapa daerah di Aceh pada zaman dahulu sering diisi dengan emas seberat ½ sampai 1 mayam beserta perak, ini terutama sekali berlaku di daerah Linge atau (Lingga), yaitu suatu daerah yang terletak
    di perbatasan antara Aceh Utara dengan Aceh Tengah. Akan tetapi belakangan ini hal tersebut sudah jarang bahkan tidak ada lagi dilakukan oleh masyarakat Aceh. Sekarang yang masih banyak dilakukan hanya penanaman “Kanot Tanoh” itu saja dan diisi dengan kunyit dan padi atau beras secukupnya. Penanaman “kanot tanoh” ini bertujuan agar
    kehidupan penghuni rumah tersebut selallu berada dalam berkecukupan, terutama dalam hal terpenuhinya kebutuhan pokok (primer).
    Setelahsemua upacara “Peusijuk” itu selesai, barulah dimulai mendirikan tiang-tiang yang sebelumnya telah dirangkai sesuai menurut posisi dan letaknya masing-masing. Untuk mempermudah mendirikan tiang-tiang tersebut dipancangkan kayu sejajar dengan tiang yang akan dinaikkan itu. Pada bagian atas pancang itu diikatkan sepotong kayu bulat dengan posisi membujur (horizontal) gunak meletakkan tali (rotan) penariktiang. Jadi fungsi kayu yang dipancang dan kayu bulat yang membujur diatasnya adalah sebagai alat penggerak guna mempermudah mendirikantiang-tiang rumah itu.“Raja” tetap berada di atas untuk memimpin dan mengarahkan anggota penarik selama tiang-tiang yang lain belum
    selesai semuanya dinaikkan. Setelah berhasil tiang dinaikkan barulah dipasang “pasak” atau (baji) atau “Ruk”, “Lheu”, “Gase”. Kemudian barulah “Raja” turun ke bawah. Dengan turunnya “Raja” berarti upacara pendirian rumah itu dianggap telah selesai. Untuk pembangunan selanjutnya diserahkan kepada tukang atau kepada keluarga yang akan
    menduduki rumah tersebut.8

    3. Upacara Adat Ketika Menempati Rumah Baru
    Setelah bangunan rumah selesai, masih ada dua upacara lagi yang harus dilaksankan oleh pemilik rumah, yaitu : “Upacara Peusijuk Utoh” (tukang) dan “Upacara Kenduri E’ Rumoh Baro” atau (upacara menempati rumah baru).9 Upacara “Peusijuk Utoh” (penepung tawaran tukang) adalah sejenis upacara yang dilaksanakan oleh si pemilik rumah.Upacara
    ini mengandung berbagai arti, antara lain adalah sebagai ucapan terimakasih si pemilik rumah kepada tukang yang telah mengerjakan rumahnya dengan baik hingga siap untuk ditempati. Rasa terimakasih itu biasanya dinyatakan secara simbolis dalam bentuk penyerahan seperangkat pakaian seperti baju, celana, kain sarung dan kopiah beserta hidangan makanan ala kadarnya kepadanya. Dalam upacara ini biasanya diselesaikan juga segala hal ihwal yang menyangkut tentang perongkosan dalam pembuatan rumah tersebut. Zaman dulu ongkos membuat rumah biasanya dibayar dalam bentuk padi, namun sekarang sistem pembayaran ini umumnya telah memakai uang. Jadi upacara ini selain mengandung arti ucapan terimakasih dari si pemilik rumah kepada “Utoh”, juga merupakan semacam acara serah terima perongkosan, baik serah terima perongkosan dari si pemilik rumah kepada “Utoh”, maupun serah terima bangunan dari tukang atau “Utoh” kepada si pemilik rumah.
    Sedangkan “Upacara Kenduri E’Rumah Baro” adalah semacam upacara syukuran yang
    diselenggarakan si pemilik rumah karena bangunan itu telah selesai. Upacara ini biasanya dilaksanakan setelah selesai shalat magrib dirumah baru yang hendak ditempati itu.Dalam upacara kenduri ini diundang semua pihak yang dianggap telah ikut berjasa dalam membuat
    rumah tersebut, seperti “Utoh” (tukang), Bapak Keuchik (Kepala Desa),Teungku Imam baik Imam Meunasah maupun Imam Mesjid beserta seluruh kerabat, ahli famili beserta seluruh masyarakat. Tata cara yangdilaksanakan dalam upacara ini sama halnya dengan upacara lainnya, yaitu didahului dengan acara makan bersama, kemudian baru dilakukan
    dengan ucapan terimakasih dari si pemilik rumah kepada semua pihak yang ikut membantu dalam mendirikan rumah tersebut. Upacara ini diakhiri dengan pembacaan do’a yang biasanya dipimpin oleh Teungku Imam.

    Hidayatullah
    Hidayatullah
    Admin Utama
    Admin Utama


    Jumlah posting : 48
    Join date : 14.04.09
    Age : 53
    Lokasi : Ulee Gle-Pidie Jaya

    UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH Empty Re: UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH

    Post by Hidayatullah Thu 16 Apr 2009 - 17:56

    4. Keterkaitan dengan adat lain
    Kedudukan rumah dalam
    lingkungan keluarga pada dasarnya berkolerasi dengan kebiasaan menetap
    setelah kawin. Pada masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar dan Pidie,
    berlaku kebiasaan bahwa pasangan suami-istri muda menetap di lingkungan
    keluarga pihak istri.10 Kebiasaan menetap secara demikian berlangsung
    hingga tiba saatnya pasangan muda itu dipisahkan dan membentuk keluarga
    batih sendiri. Pemisahan itu biasanya dilakukan dengan suatu upacara
    yang disebut “Peumeukleh” (pemisahan). Dengan disaksikan oleh menantu
    dan tetua kampung serta beberapa anggota
    kerabat lainnya, orang tua
    istri memberikan sejumlah harta yang jenis dan nilainya tergantung
    kepada kemampuannya, kepada anak perempuan yang hendak dipisahkan itu.
    Pemberian itu disebut “Peunulang” atau pemberian.11 Bagi mereka yang
    mampu pemberian itu meliputi rumah tempat tinggal, tanah sawah, kebun
    kelapa, ternak, perhiasan serta peralatan rumah tangga lainnya.
    Penyaksian oleh menantu ketika pemberian itu berlangsung terutama
    dimaksudkan supaya ia ikut memelihara atau merawatnya, terutama rumah
    tempat tinggal.
    Dalamkondisi seperti itu, kedudukan suami dalam
    lingkungan keluarga sebetulnya tidak lebih dari tamu di rumah istrinya.
    Ia tidak leluasa berada di rumah istrinya. Akan tetapi dalam realita
    masih ada lagi lelaki lain yang lebih menentukan dalam pengambilan
    keputusan keluarga,yaitu mertua. Karenanya, bukanlah pemandangan yang
    aneh jika pada siang hari suami muda lebih banyak berada di luar rumah
    ketimbang berada
    bersama istrinya di rumah. Status sebagai kepala
    keluarga baru benar-benar dapat dirasakan setelah adanya pemisahan.
    Biasanya saat untuk itu, baru dapat dirasakan setelah suami-istri muda
    itu mendapatkan kelahiran anak pertama, meskipun dalam kenyataannya ada
    yang lebih lama dari itu. Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh
    suami
    muda untuk mendapatkan status sebagai suami yang sesungguhnya adalah
    dengan cara pergi merantau. Apabila ia sudah cukup berhasil mendapatkan
    status sosial ekonomi yang lebih baik di rantau serta telah mampu
    membeli atau menyewa rumah tempat tinggal, dia dapat memboyong istrinya
    untuk hidup bersama di rantau, meskipun saat untuk pemisahan dari
    keluarga luas orang tua istrinya belum tiba. Dalam kehidupan
    bersama
    di rantau, suami dapat menempatkan dirinya sebagai kepala keluarga yang
    sesungguhnya, sebab telah jauh dari pengaruh dan baying-bayang
    mertuanya. Lingkungan tempat tinggal mereka yang baru sudah jauh
    berbedadengan lingkungan semula keluarga istrinya. Kebiasaan memboyong
    istri merantau boleh dikatakan menonjol. Semenjak tahun enam puluhan,
    yaitu ketika fasilitas transportasi dan perjalanan di kota mulai
    membaik. Pada mulanya yang memboyong istri merantau adalah para pegawai
    negri sipil. Kemudian kebiasaan ini meluas kepada pedagang serta
    pekerja lainnya. Dalam hal ini faktor yang paling menentukanadalah
    kondisi ekonomi. Selain dengan cara merantau, untuk membentuk keluarga
    batih yang berdiri sendiri, suami sebetulnya dapat pula memboyong
    istrinya ke lingkungan kerabat orang tuanya, baik untuktinggal bersama
    keluarga batih orang tua suami atau dengan cara mendirikan rumah baru.
    Akan tetapi masyarakat Aceh, khususnya Aceh Besar dan Pidie memandang
    hal itu tercela, karena dapat menimbulkan aib di pihak keluarga istri
    serta menimbulkan tanda Tanya di hati mereka, apa kekurangan dan
    keburukan mereka dan apa pula kelebihan pihak kerabat suami sehingga
    mereka (pengantin baru) itu tidak mau menetap di tempat mereka. Hal ini
    dapat menimbulkan ketegangan dan percekcokkan di antara kedua belah
    pihak, yaitu antara keluarga batih pihak istri dan keluarga batih pihak
    suami. Bahkan tindakan yang demikian dapat menyebabkan istri tidak
    diberikan harta “Peunulang” oleh orang tuanya.
    Apabila dikaji lebih
    mendalam, maka pemberian harta “Peunulang” terutama bertujuan agar si
    istri tetap berada di lingkungan kerabatnya (bersama orang tuanya),
    walaupun berdasarkan ketentuan hokum bahwa setelah perkawinan istri
    beralih ke dalam tanggung jawab suami. Keselarasan hubungan kekerabatan
    akan terwujud apabila apa yang
    diinginkan suami dengan apa yang
    seharusnya dilakukan. Ini berarti bahwa walaupun berdasarkan ketentuan
    hokum istri seharusnya beralih ke dalam tanggung jawab suami, namun
    mereka (orang tua istri) menginginkan supaya mereka tetap berada di
    lingkungan keluarganya sendiri. Keinginan yang demikian tidaklah
    terbatas pada pandangan suami-istri itu semata-mata, tetapi juga kepada
    anak-anak yang mereka lahirkan. Atau dengan ungkapan lain bisa
    dinyatakan bahwa ada kecenderungan pada orang Aceh untuk berupaya
    mengabsahkan perilaku adat dengan tanpa mengabaikan ketentuan hokum
    (dalam hal ini adalah ketentuan hokum Islam).
    Di beberapa kota
    besar di Aceh, khususnya Pidie dan Aceh Besar, kecenderungan untuk
    mempertahankan anak perempuan agar tetap berada di lingkungan
    kerabatnya sendiri masih terlihat pada sebagian pendatang dari desa.
    Namun karena berbagai keterbatasan yang dihadapi, kecenderungan yang
    demikian kelihatannya mulai pudar. Faktor penyebab
    yang terpenting
    antara lain keterbatasan rumah tempat tinggal dan biaya hidup yang
    relatif lebih tinggi. Lokasi perumahan di kota relatif lebih sempit
    dibandingkan dengan di desa. Kemungkinan perluasan tempat tinggal juga
    relatif terbatas, karena pekarangan rumah juga umumnya terbatas
    luasnya. Karenanya, untuk membentuk keluarga batih baru yang
    terpisah
    dari orang tua memerlukan lokasi tempat tinggal yang lain yang berada
    pada lingkungan yang berbeda atau relatif jauh terpisah. Biaya hidup
    yang relatif tinggi sering merupakan beban yang amat berat dirasakan
    untuk bisa ditanggung oleh seorang kepala keluarga. Di satu pihak,
    berbagai keterbatasan yang dihadapi itu dapat memudarkan
    ketentuan
    adat bahwa anak perempuan seharusnya tetap tinggal bersama orang
    tuanya, tetapi pada pihak lain keterbatasan tersebut memberi peluang
    bagi suami untuk membentuk keluarga batih yang berdiri sendiri.12

    Kearifan Lokal
    Menurut
    Geertz, kebudayaan pada dasarnya terdiri dari pola-pola pengetahuan,
    penilaian dan simbol.Pertama pola-pola pengetahuan disebut juga dengan
    pola bagi yangartinya suatu pengetahuan yang ada dikepala manusia untuk
    membentuk gejala sosial (mis. Tingkah laku atau benda-benda) di alam
    nyata, sebagai contoh bentuk bangunan yang akan didirikan. Pola-pola
    bangunan telah ada dalam pengetahuan si arsitek sedangkan bentuk
    bangunan secara nyatanya belum terjadi. Atau dalam bentuk tindakan
    adalah
    tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan gejala yang dihadapi.
    Kedua,
    Pola-pola penilaian disebut juga dengan pola dari atau suatu gejala
    yang tampak nyata diberi penilaian dan dimasukkan kedalam penilaian
    budaya diberikan suatu pola tertentu, jadi suatu gejala yang tampak
    nyata diartikan dan diterjemahkan (diinterpretasi).
    Gejala-gejala
    yang tampak nyata yang ada di luar tubuh manusia dipahami dan diberi
    penilaian, sehingga manusia dapat memberikan penilaian atas gejala yang
    tampak sebagai sesuatu yang baik atau buruk, dapat dimakan atau tidak,
    dsb. Bentuk ketiga adalah simbol, artinya bagaimana seseorang dari
    kebudayaan tertentu menghubungkan antara pola pengetahuan dan pola
    penilaian dengan simbol-simbol tertentu, sehingga kenyataan yang ada
    diterjemahkan dan dipahami menurut kebudayaan tertentu. Dan ditanggapi
    dengan suatu tindakan tertentu berkaitan dengan gejala yang tampak
    tadi.13
    Perwujudan kebudayaan melalui pengorganisasian antara pola
    bagi dan pola dari yang berbentuk simbol akan tampak sebagai suatu
    lingkungan (dapat berupa arsitektur rumah,
    pola permukiman, kendaraan, model-model mata pencaharian dsb).
    Simbol-simbol
    inilah yang kemudian diinternalisasikan kepada orang lain (generasi
    selanjutnya) agar nilai-nilai budaya yang ada menjadi terkelola dan
    dapat menyesuaikan dirinya dengan segala perubahan yang terjadi di
    lingkungan hidup yang dihadapi individu-individunya sebagai anggota
    masyarakat.
    Gambaran dari adat upacara dalam membangun rumah pada
    masyarakat Aceh merupakan manifestasi dari perwujudan suatu hasil dari
    suatu proses pengambilan keputusan oleh banyak pihak dalam kurun waktu
    tertentu. Pengaruh dan bentuk-bentuk kondisi
    sosial-ekonomi,
    sosial-politik dan sosial-budaya yang berbeda yang melatar-belakangi
    proses dalam waktu pembentukan lingkungan tersebut, memberikan warna
    dan ciri tersendiri pada wujud fisiknya. Secara lebih nyata, hasil
    pengolahan pemahaman dan interpretasi terhadap lingkungan hidup, akan
    diwujudkan kedalam bentuk tindakan (cultural behavior) dan biasanya
    terwujud juga dalam bentuk benda-benda budaya (cultural
    artifact).
    Dalam konteks ini dapat kita lihat pada upacara adat membangun rumah
    pada masyarakat Aceh seperti telah dipaparkan pada bagian di atas.
    Misalnya, tindakan yang diboleh dan tidak dibolehkan (larangan/
    pantangan). Pemilihan bahan untuk membangun rumah atau pengaturan
    pembangunan rumah bagi anggota masyarakat yang baru.Rumah
    yang
    dibangun oleh masyarakat Aceh tidak hanya dipandang sebagai sebuah
    kebudayaan materi semata, tetapi juga dapat dipandang sebagai interaksi
    manusia dengan lingkungan hidup yang dihadapinya. Selain itu, hasil
    karya manusia yang berbentuk benda-benda materi pada dasarnya juga
    berkaitan dengan peradaban (civilization) yang melingkupi manusia
    tersebut. Lingkungan sebagai suatu area yang harus dipahami mendorong
    manusia untuk menggunakan teknologinya guna kepentingan pemenuhan yang
    kemudian mendorong bekerjanya aspek-aspek lain dalam kebudayaan seperti
    kekerabatan, kepercayaan, kesenian, struktur sosial. Yang kesemuanya
    itu untuk pemenuhan kebutuhan manusia secara biologi, sosial dan
    psikologi.
    Akhirnya, segala simbol-simbol pengetahuan yang
    terdapat dalam upacara adat pembangunan rumah pada masyarakat Aceh
    terintegrasi dengan sistem teknologi, dan struktur sosial. Kesemua hal
    itu merupakan satu perangkat kognitif manusia sebagai sebuah
    kebudayaan.
    Seringkali apabila diperhatikan kebudayaan ini memiliki nilai-nilai
    kearifan di dalam mengelola agar lingkungan tidak cepat rusak/punah.

    Penutup
    Dalam pembangunan rumah masyarakat Aceh
    banyak faktor yang dilibatkan, yang meliputi aspek tangible dan
    intangible. Kedua aspek sangat diperhatikan. Lebih-lebih pada pada
    masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat. Mereka menjadikan
    adat-istiadat sebagai pedoman atau penuntun. Apabila dikaji, mereka
    memiliki kearifan lingkungan sehingga seringkali lingkungan tetap
    lestari. Untuk itu, kita jarang sekali mendengar terjadinya bencana
    alam yang terkait dengan lingkungan di kalangan masyarakat seperti
    ini.14 Untuk itu, kita harus terus menumbuhkembangkan kearifan
    lingkungan yang kita punyai. Apabila kearifan kita telah hilang
    bencanalah yang akan kita peroleh.
    Hidayatullah
    Hidayatullah
    Admin Utama
    Admin Utama


    Jumlah posting : 48
    Join date : 14.04.09
    Age : 53
    Lokasi : Ulee Gle-Pidie Jaya

    UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH Empty Re: UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH

    Post by Hidayatullah Thu 16 Apr 2009 - 17:58

    UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH CLOSE-1 Profile Penulis
    Agus Budi WibowoTerlahir di Jakarta tetapi kemudian
    merantau dari satu kota ke kota lain. Karenanya pendidikan tidak pada
    satu kota, mulai dari Jakarta, Gombong, dan Yogyakarta.Pendidikan
    terakhir adalah Program Pascasarjana UGM tahun 1994. Sebelumnya pernah
    bekerja pada Biro Research swasta. Bertugas di Aceh sejak tahun 1996.
    Aktivitas sehari-hari adalah peneliti madya (IV/c) pada Balai
    Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh. Pada tahun 2008
    menerima penghargaan sebagai penulis buku bernuansa Keacehan dari Badan
    Arsip dan Perpustakaan Prov. NAD. Aktif menulis artikel di media massa,
    penelitian dengan Bappeda Kab/kota/prov, dan sebagai penulis di
    dinas-dinas.

    Sponsored content


    UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH Empty Re: UPACARA ADAT MEMBANGUN RUMAH: SEBUAH KEARIFAN MASYARAKAT ACEH

    Post by Sponsored content